Inspirasi dari Pulau Timah
oleh : dina.irma97@gmail.com
Judul buku : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Tahun terbit : 2008
Tebal : xiv + 534
Hidup dengan penuh keterbatasan lantas tidak membuat mereka hidup
dalam kesengsaraan. Kisah yang dituliskan oleh seorang anak asli Belitung,
Andrea Hirata ini adalah kisah yang sangat menginspirasi. Saat kita membaca
kisah ini, kita akan dibuat terpukau olen kata-kata yang disusun rapi dan
teratur. Kita akan dibawa ke dalam lamunan imajinasi, membayangkan bagaimana
gambaran hidup dengan keadaan apa adanya namun membahagiakan. Andrea Hirata
mampu menuliskan bagaimana membuat orang terus merasa penasaran akan ada kisah
apa selanjutnya. Suatu keberhasilan yang luar biasa untuk novel pertamanya ini.
Kisahnya dimulai dari sebuah desa
bernama Gantung yang berada di Pulau Belitung. Desa ini berada di atas tanah
yang gemah ripah akan kekayaan timahnya. Namun mereka yang asli sebagai
penduduk melayu, tidak pernah merasakan kesejahteraan atas kekayaan alam yang daerah
mereka miliki. Kekayaan timah pulau itu dikuasai oleh orang-orang pendatang,
non-melayu yang bekerja di PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Orang-orang
melayu asli hanya akan menjadi buruh kasar di perusahaan itu, berdampingan
dengan orang-orang Sawang yang memiliki tenaga baja yang malah memiliki bagian
pekerjaan lebih kasar lagi dibandingkan mereka, orang melayu asli.
Keinginan untuk merubah nasib, atau
hanya sekedar untuk membungkam celaan aparat desa karena tidak menyekolahkan
anaknya, atau bahkan karena misi yang mulia untuk mempertahankan lembaga
pendidikan Muhammadiyah pertama di Pulau Belitung, membuat pagi itu para orang
tua mengantarkan anak-anaknya ke SD Muhammadiyah untuk mendaftar sebagai murid
baru. Sekolah reot yang pantas-pantas saja jika disebut sebagai gudang kopra
ini adalah pilihan satu-satunya bagi mereka karena tidak mampu mengeluarkan
biaya yang lebih lagi untuk menyekolahkan putra-putrinya. Padahal,
menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan
hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga-keluarga miskin ini.
“Sembilan orang . . . baru sembilan
orang Pamanda Gurum masih kurang satu . . .” kata Bu Mus kepada Pak Harfan
cemas. Mereka berdua adalah orang-orang yang mau dengan ikhlas mengajar di SD
Muhammadiyah. Meski mereka tahu sekolah ini akan terancam ditutup karena jumlah
siswa baru tidak mencapai 10 orang, namun mereka masih terus berusaha
mempertahankan sekolah reot ini.
Jam hampir menunjukkan pukul 11
kurang 5 menit, batas waktu yang diberikan Dinas Pendidikan membuka
pendaftaran. Dan peraturan dari Dinas Pendidikan, 10 atau tidak sama sekali
membuat semua orang yang berada di SD Muhammadiyah ini tampak cemas. Para orang
tua kelihatan sekali pikirannya sedang tidak berada disini. Mereka memikirkan
mungkin lebih baik anak-anaknya ikut menjadi kuli kopra membantu ekonomi
keluarga saja.
Pukul 11 lebih 5 menit, Pak Harfan
bersiap-siap memberikan pidato untuk menutup sekolah ini. Namun beberapa detik
sebelum itu terjadi, penyelamat telah datang. Harun, seorang anak berusia 15
tahun dan terbelakang mentalnya datang bersama ibunya menggenapi mereka sejumlah
10 anak. SD Muhammadiyah terselamatkan tahun ini.
Mereka, 10 anak itu ditempatkan oleh
Bu Mus dalam satu meja 2 anak dipilihkan berdasar kemiripan. Ikal dan Lintang
sebangku karena memiliki rambut yang sama-sama ikal, Trapani duduk dengan Mahar
karena mereka berdua paling tampan. Namun untuk Borek dan Kucai, mereka
didudukkan bersama bukan karena mirip, tapi karena sama-sama susah diatur. A
Kiong duduk dengan Syahdan, dan Sahara duduk dengan Harun.
Hari, bulan, dan tahun berganti.
Mereka tetap bersepuluh dan tidak bosan setiap hari harus bertemu orang yang
itu-itu saja. Karena bagi mereka, SD Muhammadiyah adalah juga keluarga. Pak
Harfan memberikan banyak sekali cerita-cerita zaman Rasulullah yang membuat
Laskar Pelangi tercengang terkagum-kagum. Mereka dijuluki Laskar Pelangi oleh
Bu Mus karena hobi mereka saat musim hujan tiba, yaitu melihat pelangi dari
pohon fillicium yang berada di depan sekolah mereka. Bu Mus adalah
wanita cerdas serba bisa yang sudah mereka anggap Ibu sendiri. Hampir semua
mata pelajaran Bu Mus ajarkan. Dan setelah pulang sekolah, Bu Mus akan bekerja
sampingan sebagai penjahit.
Bertahun-tahun mereka bersama, selama itu pula mereka
mengukir cerita. Mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan
Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa di mana A Kiong yang malah
cengar-cengir ketika ditanyakan namanya oleh guru mereka, Bu Mus. Sahara yang
suka sekali mengganggu A Kiong hingga mereka seolah menjadi musuh abadi.
Kejadian bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes
keras oleh Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman
cinta pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km
pulang pergi dari rumahnya ke sekolah.
Laskar Pelangi sempat mengharumkan nama sekolah dengan
berbagai cara. Misalnya pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokkan
kawan-kawannya karena kesenangannya pada okultisme yang membuahkan kemenangan
manis pada karnaval 17 Agustus, dan kejeniusan luar biasa Lintang yang
menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya PN yang berijazah
dan terkenal, dan memenangkan lomba cerdas cermat.
Laskar Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan,
tertawa dan menangis bersama. Kisah sepuluh kawanan ini berakhir dengan
kematian ayah Lintang yang memaksa Einstein cilik itu putus sekolah dengan
sangat mengharukan, dan dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian di mana
Ikal yang berjuang di luar pulau Belitong kembali ke kampungnya.
Kisah indah ini diringkas dengan kocak dan mengharukan
oleh Andrea Hirata, kita bahkan bisa merasakan semangat masa kecil anggota
sepuluh Laskar Pelangi ini. Namun, dalam novel ini juga banyak ditemukan
istilah-istilah ilmiah yang mungkin sulit dipahami oleh beberapa orang awam.
Pembaca harus mencari istilah tersebut di Glosarium jika ingin memahaminya.
Tapi selebihnya, kisah ini begitu menginspirasi.